Hi, guest ! welcome to Campursari. | About Us | Contact | Register | Sign In

Rabu, 11 Juni 2008

Budaya Gorontalo kian terkikis

Keragaman budaya daerah yang merupakan kekayaan budaya nasional nampaknya kian hari, kian terkikis.
Dalam beberapa dekade terakhir, pupusnya budaya daerah itu pun tidak hanya berdampak pada kelestarian budaya, namun pula berpengaruh pola hidup generasinya.
Sebut saja, gaya hidup berbusana. Diakhir tahun 70-an, dimasa penulis masih berusia kanak-kanak, biasanya masyarakat daerah yang memiliki falsafah adat bersendikan sara'_sara'bersendikan kitabullah ini jika hendak mengunjungi hajatan, selalu mengandalkan kebaya sebagai model busana 'andalan'.
Ditahun-tahun belakagan ini, dimasa sekarang, hampir semua pengunjung hajatan (maaf) mempertontonkan aurat yang semestinya dilindungi dari pandangan mata bukan muhrim.

Salah satu gambaran diatas tentu saja menimbulkan keprihatinan bagi pelestari budaya daerah. Nah, sekarang mereka-mereka itu semakin medapat tantangan bagaimana memecahkan masalah ini.
Diantara langkah-langkah yang ditempuh diantaranya dengan mengadakan konteks busaha adat daerah, atau mengadakan kegiatan lain untuk mengatasi krisis budaya.
Namun dipihak lain tantangan lain yang kontraversi dengan upaya seperti apa yang dicontohkan diatas adalah semakin digalakkanya kontes berpakaian minim, dikemas melalui acara pemilihan puteri terbaik, baik di daerah maupun tingkat nasional.
Persoalannya adalah, mampukah kita melawan arus budaya barat yang kian menggorogoti budaya kita, dengan cengkaraman kuku-kukunya yang taja tertancap dalam didaging budaya daerah?
Kuncinya adalah, mari secara sadar, bersama kita lestarikan budaya daerah demi menjaga kelestarian budaya nasional. Ini bukan berarti kita kembali kemasa lampua Bo! Tetapi merupakan upaya mempertahankan jati diri agar harga diri bangsa ini tidak terus diinjak-injak bangsa lain.
Share this article now on :